bintang hijau

Jumat, 25 November 2016

Ambarawa yang Mendunia



Strategi Supit Urang, ampuh memukul mundur pasukan sekutu pada perang Ambarawa. Panglima Sudirman menerapkan taktik ini, sehingga serangan terjadi serempak di seluruh penjuru Ambarawa. Gerakan pasukan pendobrak oleh pasukan pemukul Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dari arah Selatan dan Barat ke arah Timur menuju Semarang.

Saat Jepang kalah dalam Perang Dunia II, sebagai konsekuensinya menyerahkan Indonesia kepada sekutu. Tentara sekutu di bawah pimpinan Jenderal Bethel pun masuk Semarang sekira 20 Oktober 1945 dengan misi melucuti senjata Jepang, membebaskan tentara sekutu, serta menjaga keamanan dan ketenteraman dengan tidak mengganggu kedaulatan NKRI.

Namun pada kenyataannya, sekutu yang diboncengi Belanda malah bertindak arogan dan berupaya menancapkan kembali kolonialisme di Indonesia. Hal itulah yang menyulut kemarahan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Ambarawa dan sekitarnya.

Insiden Air di Ambarawa, penyerangan sekutu terhadap markas-markas TKR, hingga penyiksaan dan pembunuhan terhadap rakyat memunculkan semangat nasionalisme dan patriotisme seluruh rakyat Indonesia untuk mengusir sekutu di Bumi Ambarawa.

Pak Dirman yang waktu itu berpangkat kolonel dan menjabat sebagai Komandan Divisi V pun turun ke medan Ambarawa memimpin pertempuran pada tanggal 11 Desember 1945. Pak Dirman langsung memanggil seluruh Komandan Sektor TKR maupun kelaskaran untuk membahas rencana serangan umum dengan menghasilkan keputusan yang sangat penting.

Pertama, siasat yang digunakan dalam perang Ambarawa yaitu, cepat, cerdik, serentak di segala sektor pada jam dan detik yang sama. Kedua, serangan dimulai pukul 04.30 pada tanggal 12 Desember 1945. Ketiga, taktik dan strategi yang digunakan adalah “Supit Urang”.

Dalam penerapannya, taktik “Supit Urang” adalah gerakan pendobrakan oleh pasukan pemukul dari arah Selatan dan Barat ke arah Timur menuju Semarang. Gerakan tersebut diikuti dengan penjepitan dari lambung kanan dan kiri sebagaimana halnya seekor udang menjepit mangsanya, untuk selanjutnya supit bertemu di bagian luar Ambarawa ke arah Semarang. Pasukan yang dikerahkan dalam pertempuran Ambarawa pun tidak sedikit.

1. Resimen Kedu Tengah. Dipimpin oleh Letkol M Sarbini beranggotakan tiga pasukan Batalyon yang masing-masing dipimpin oleh Mayor Suryo Sumpeno, Mayor Kusen dan Mayor A. Yani.

2. Divisi V Purwokarto yang terdiri dari pasukan Batalyon 1 Resimen II Cilacap dipimpin Mayor Sugeng Tirtosewoyo; Batalyon 2 Resimen II Sumpyuh dipimpin Mayor Imam; Batalyon 1 Resimen I Purwokerto dipimpin Mayor Androgi; Batalyon 4 Resimen 1 Banyumas dipimpin Mayor Taram; Batalyon 4 Resimen 1 Kmanjen dipimpin Mayor Wasis; Batalyon 2 Resimen Purwokerto dipimpin Mayor Dirman.

3. Divisi IX Yogyakarta terdiri dari Batalyon 10 dipimpin Mayor Suharto; Batalyon 8 dipimpin Mayor Sarjono; Batalyon 20 dipimpin Mayor Pranoto Reksosamodra; Batalyon 24 dipimpin Mayor Ismullah; Batalyon 17 dipimpin Ngatijo.

4. Divisi X Surakarta dipimpin Letkol Sunarto Kusumodiharjo dan Letkol Suadi Suromiharjo.

5. Divisi IV Salatiga terdiri dari; Batalyon 1 Salatiga dipimpin Mayor Sutarto; Batalyon 2 Kopeng dipimpin Mayor Ashari; Batalyon 3 Ambarawa dipimpin Mayor Sumarto; Batalyon 4 Ungaran dipimpin Mayor Wahyu Rochadi.

6. Diperkuat pula oleh yang tergabung dalam Badan-Badan kelaskaran yaitu Tentara Rakyat Mataram (TRM), Barisan Macan, Laskar Rakyat, BPRI, dan Angkatan Muda Republik Indonesia.

Cerita selanjutnya, penyerangan dadakan yang dilakukan TKR dibantu segenap komponen rakyat Indonesia mengakibatkan sekutu kalang kabut. Pertempuran Ambarawa yang berlangsung dari tanggal 12 sampai 15 Desember 1945 berhasil memukul mundur sekutu dari Ambarawa.

Aksi heroik yang ditunjukkan TKR dengan seluruh unsurnya yang menggunakan senjata dan peralatan seadanya, didukung rakyat melalui Tata Yudha Semi Modern dan taktik “Supit Urang”, berhasil mengusir sekutu dari Bumi Indonesia.

Makanya, 15 Desember memilik makna tersendiri bagi prajurit TNI AD. Dalam pertempuran itu, Pak Dirman menyusun strategi yang andal. Meski kalah jumlah, pasukannya berhasil memenangkan pertempuran dan mempertahankan kemerdekaan NKRI. Pertempuran itulah yang kemudian dikenal sebagai pertempuran Palagan Ambarawa.

Makanya, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 163 Tahun 1999 dan Surat Keputusan Kasad Nomor Skep/662/XII/1999, ditetapkan tanggal 15 Desember sebagai: Hari Juang Kartika.

Dari pertempuran itulah, TKR sebagai embrio TNI AD langsung mengaplikasikannya dalam perang kemerdekaan tahun 1947-1949, sehingga Belanda dan sekutu mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Apa pengaruhnya? Meski Ambarawa daerah kecil, namun pertempuran tersebut memiliki dampak positif dalam perjuangan militer serta berdampak politis terhadap bangsa Indonesia secara nasional.

Faktor keberhasilan, keunggulan taktik, dan teknik infanteri, manajemen pengelolaan operasi administrasi lapangan, logistik lapangan, dan kesehatan serta keterpaduan operasi menjadi kunci keberhasilan dalam pertempuran tersebut. Bahkan, taktik itulah yang sampai saat ini menjadi andalan TNI AD, dan mulai ditiru negara-negara berkembang untuk melawan penindasan.

Pasalnya, sejarah mencatat, pasca pertempuran Ambarawa, strategi dan taktik perlawanan terhadap kaum penjajah dalam beberapa pertempuran lain memiliki perencanaan operasi yang sangat bagus. Sehingga, rentang waktu perlawanan tidak begitu lama dengan jumlah korban di pasukan sendiri dapat diminimalisir.

Banyak yang bisa kita petik dari Ambarawa. Bahkan, untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pasukannya, pada Agustus lalu, Pangdam VI/Mulawarman Mayjen TNI Benny Indra Pujihastono sempat mengajak jajaran pejabat Kodam/VI Mulawarman, para prajurit dan keluarga nonton film genre drama perang berjudul “Jenderal Soedierman” di XXI Balcony.

“Bayangkan, dalam kondisi sakit, kekurangan persenjataan, kekurangan bekal, bahkan kelaparan, Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya demi menunjukkan ke dunia bahwa TNI masih ada dan kuat. Dari perjuangan Jenderal Soediman yang terkadang berseberangan dengan Presiden Soekarno, akhirnya dunia mengakui bahwa NKRI masih ada, TNI masih kuat. Sayang sekali, belum sempat menikmati hasil perjuangan yang serba maju, Jenderal kita wafat dalam usia yang sangat muda, 34 tahun. Dia tutup usia 29 Januari 1950 karena sakit keras,” kata Benny kepada wartawan, usai nonton waktu itu.

Tak hanya dipakai oleh Indonesia, taktik tersebut ternyata juga ditiru oleh negara-negara di dunia. Jenderal Besar Abduk Haris Nasution lewat bukunya berjudul “Fundamentals of Guerrilla Warfare” benar-benar membuat kalang kabut negara modern.

Salah satunya adalah ketika terjadi perang Vietnam (1957-1975). Perang selama 18 tahun itu telah membuat tentara Amerika Serikat (AS) yang notabene sangat kuat pada Perang Dunia (PD) ke-2 dibuat kalang kabut oleh tentara Vietnam Utara (NVA) dan milisi Vietcong (VC). Meski ditunjang dengan teknologi persenjataan yang super canggih saat itu, yaitu dengan penggunaan rudal air-to-air, namun tentara Amerika Serikat benar-benar dibuat tak berdaya oleh NVA dan VC yang menerapkan “Taktik Gerilya”. Peristiwa ini pun bahkan menjadi aib tersendiri bagi Amerika.

Lantas apa hubungannya buku karangan Nasution dengan perang Vietnam? Yang jelas memang ada kaitannya. Ternyata, Ho Chi Minh, selaku pemimpin besar Vietnam Utara belajar menggunakan Taktik Perang Gerilya dari buku karangan Nasution ini. Luar biasa bukan?

Sampai saat ini, karangan Nasution telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Selain itu juga, buku ini merupakan buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elit bagi militer dunia di Amerika, West Point. Buku itu memang terinspirasi lewat pertempuran Ambarawa.

Tak hanya itu, pasukan TNI AD yang tergabung di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) juga menjadi mentor atau pelatih bagi negara-negara di Afrika Utara, Asia Tenggara, hingga Timur Tengah. Maklum, Kopassus milik TNI AD masuk dalam jajaran tiga pasukan elit terbaik dunia versi Discovery Channel Military.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar